Masalah Ujian Nasional (UN)
Salah satu
kebijakan Kemendiknas adalah meningkatkan standar mutu pendidikan sekolah,
melalui penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). UN adalah bagian dari sistem
evaluasi pendidikan di sekolah yang dimaksudkan untuk:
1.
memperoleh gambaran atau pemetaan mengenai mutu
pendidikan sekolah secara nasional,
2.
meningkatkan standar mutu pendidikan sekolah,
3.
merangsang siswa dan guru untuk lebih giat dalam
proses pembelajaran, dengan menjadikan UN sebagai salah satu komponen penting
dalam menentukan kelulusan belajar seorang siswa (kini, porsi UN = 60 % penentu
kelulusan, sisanya hasil evaluasi sekolah sendiri).
UN seringkali
tidak menggambarkan hasil belajar sesungguhnya yang diperoleh oleh siswa.
Banyak hal yang menjadi distorsi sehingga UN sering tidak mencapai sasaran,
antara lain:
1.
sistem pengamanan lembaran soal UN yang rawan
bocor.
2.
sistem birokrasi di tingkat pemerintahan daerah
yang mengkooptasi sistem evaluasi pendidikan sekolah, seperti target kelulusan
UN di daerah sebagai sebuah prestasi dan prestise seorang pejabat daerah, yang
kemudian di lapangan diterjemahkan dalam bentuk “bantuan teknis” oleh guru saat
pelaksanaan UN dan “katrol nilai” siswa di sekolah agar mengimbangi kemungkinan
hasil terburuk dari UN, agar mereka secara administratif tetap dapat
diluluskan, sesuai target sekolah dan pemerintah daerah.
Masalah Profesi Guru
Masalah guru
berawal dari sistem rekruitmen calon guru yang belum mampu menarik putra-puri
tebaik Indonesia. Mengapa ? Karena, profesi guru masih belum menjadi profesi
yang menarik dan menjadi bagian dari profesi pilihan “papan atas”. Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa hampir tidak sedikit untuk menghindari menyebut
sebagian terbesar mereka yang kini menjadi guru lebih karena alasan “terpaksa”,
sebagai pilihan terakhir untuk dapat bekerja. Bukan pilihan utama, juga bukan
karena panggilan jiwa, dan apalagi bukan karena image profesi yang dianggap
bergengsi.
Mengapa hal ini
bisa terjadi ? Guru adalah profesi yang dianggap belum menjanjikan bagi masa
depan, dengan tingkat kesejahteraan yang relatif masih kalah jauh dari
pekerjaan profesional yang lainnya. Salah satu alasan penting adalah menyangkut
masalah penghasilan (salary). Secara jujur, ini menyangkut hal yang cukup
sensitif bagi seorang guru saat berbicara masalah penghasilan atau gaji. Namun,
suka atau tidak suka hal tersebut harus dipersoalkan, terutama agar menarik
mereka yang sebenarnya sangat potensial untuk menjadi guru yang bermutu.
Upaya pemerintah
pusat dengan mengeluarkan program peningkatan penghasilan guru melalui
tunjangan profesional setelah melalui proses sertifikasi guru. Bagi mereka yang
dianggap telah profesional dengan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maka guru akan memperoleh tambahan penghasilan
1 kali gaji pokok, yang dibayarkan setiap enam bulan sekali. Tujuannya, adalah
agar guru lebih terangsang untuk meningkatkan profesionalismenya sebagai
pendidik dan pengajar.
Apa yang terjadi
di lapangan ? Survei Kemendiknas sendiri membuktikan bahwa program sertifikasi
tidak secara otomatis meningkatkan mutu guru secara signifikan. Mengapa hal ini
bisa terjadi ? Pada tingkat implementasi, program sertifikasi telah mengalami
distorsi. Program yang seharusnya mengacu pada tingkat mutu guru sebagai parameter
seleksi, sehingga hanya guru yang berkualitaslah yang mendapatkannya,
kenyataannya lebih berfungsi sebagai program pelipatgandaan pendapatan
berdasarkan urut kacang senioritas, dan tak menutup kemungkinan pula
berdasarkan asas lama, deket, dulur dan duit.
Apa yang
selanjutnya terjadi ? Program peningkatan penghasilan ini tidak secara langsung
meningkatkan mutu guru, karena yang terpilih kebanyakan mereka yang telah
senior, yang secara teknis dan psikololgis amat rigid dan resisten terhadap
perubahan dan pembaharuan. Program ini, pun belum mampu menarik mereka yang
bermutu terbaik, yang sebenarnya potensial untuk mau menjadi guru sebagai
profesinya.
Bila program
peningkatan penghasilan dilakukan dengan sekaligus dan berlaku untuk semua,
bagi mereka yang baru masuk menjadi guru PNS, atau yang sudah lebih dahulu
senior. Guru perlu peningkatan total gaji yang memadai, tanpa terlebih dahului
melalui proses sertifikasi, yang terkesan sebagai sebuah kebijakan setengah
hati dalam meningkatkan gaji. Peningkatan penghasilan guru agar mencapai
standar gaji minimal sebuah pekerjaan profesional yang menjanjikan menjadi
sangat mutlak bagi terciptanya guru yang berkualitas. Sekedar perbandingan,
gaji guru yang telah bekerja lebih dari 10 tahun dengan golongan IV A, hanya
seperempatnya saja dari gaji pegawai Ditejen Pajak, seperti Gayus HP Tambunan,
yang bergolongan III A, kurang dari 5 tahun bekerja !
Mungkin, ada
pertanyaan. Apakah gaji guru PNS selama ini dianggap masih kurang cukup memadai
? Sebagai sebuah pekerjaan biasa untuk dapat hidup “biasa saja”, apalagi bagi
mereka yang tinggal di daerah, mungkin bisa dikatakan cukup, untuk tidak
menyebut pas-pasan. Namun, sebagai sebuah pekerjaan profesional, yang selalu
dituntut terjadi peningkatan mutu dan kompetensi, jelas gaji saat ini belum
cukup, untuk tidak mengatakan sangat kurang.
Guru adalah
salah satu profesi yang berbasis pada aspek “knowledge” sebagai pijakan
kompetensinya. Di samping terkait dengan kebutuhan operasional sehari-hari,
kebutuhan perumahan, pendidikan anak-anaknya, dan masa depan hari tuanya, guru
pun perlu selalu meningkatan mutu “knowledge”, yang antara lain dapat dipenuhi
dengan membeli buku, mengakses internet, mengikuti kegiatan akademik, kuliah
lagi, atau mengikuti forum ilmiah, melakukan perjalanan yang bersifat “studi
komparatif” ke daerah atau tempat tertentu yang secara langsung atau tidak
langsung dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya sebagai seorang pendidik
yang profesional.
Dalam konteks
inilah, maka gaji guru saat ini dapat dikatakan masih jauh dari standar gaji
pekerjaan yang disebut profesional. Apalagi, dengan waktu mengajar minimal yang
24 jam pelajaran setiap minggunya, maka amat sulit bagi seorang guru untuk
melakukan banyak hal dalam pengembangan profesinya. Lebih sulit lagi, adalah
untuk mengatasi kekurangan gaji dengan melakukan tambahan profesi lain, di luar
sebagai pengajar. Berbeda halnya, misalnya dengan profesi dokter, yang hanya
berada di rumah sakit cukup dengan 2-3 jam saja per hari, untuk 3-4 hari saja
per minggu. Dokter, dapat memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi dengan
lebih banyak waktu berpraktek di rumah sakit swasta atau praktek pribadi di
rumahnya sendiri. Pekerjaan profesional, menuntut ketekunan dan kesetiaan
profesi tanpa harus diganggu oleh masalah-masalah kecil, antara lain seperti
gaji yang kurang mencukupi.
Sekali lagi, ini
bukan ekspresi dari keluhan seorang guru. Ini adalah logika yang cukup adil,
untuk menentukan, apakah guru merupakan sebuah pekerjaan profesional yang cukup
menjanjikan ? Apakah profesi guru cukup menarik bagi mereka, putra-putri
terbaik Indonesia yang sangat potensial dan berkualitas ? Akhirnya, ini adalah
sebuah pertaruhan, apakah anak cucu kita di negeri ini, secara nasional,
berpeluang besar untuk dapat dididik oleh guru-guru yang bermutu dan
profesional ? Jika pendidikan merupakan bagian dari komponen atau indeks mutu
kehidupan, maka hal ini menjadi salah satu ukuran yang sesungguhnya mengenai
bagaimana masa depan mutu kehidupan bangsa kita !
Masalah Pembelajaran
yang Efektif dan Menarik
Terakhir, adalah
masalah proses belajar mengajar (pembelajaran) di sekolah. Untuk meningkatkan
mutu pendidikan di sekolah, tidak cukup hanya dengan menaikkan gaji guru secara
memadai. Juga, tidak cukup hanya dengan melakukan perubahan Undang-Undang (UU)
dan perubahan kurikulum di sana sini. Peningkatan mutu pendidikan, khususnya di
sekolah, membutuhkan lebih dari sekedar masalah landasan yuridis, pergantian
kurikulum, penerapan konsepsi model-model pembelajaran, entah itu CTL, Quantum
Learning, Cooperative Learning, dan seterusnya, atau hal-hal yang lebih
bersifat teknis administratif, seperti tugas Satpel, RPP dan sebagainya.
Mengajar adalah
bagian dari bentuk komunikasi. Masalah mengajar, sesungguhnya berawal dari
masalah bagaimana guru berkomunikasi dengan siswa. Penguasaan materi pelajaran
adalah mutlak bagi seorang guru. Namun, yang tak kalah penting lagi adalah
kemampuannya dalam seni berkomunikasi saat mengajarkan materi pelajaran kepada
siswa di kelas. Yang dimaksud adalah, bukan komunikasi yang selama ini banyak
terjadi, yakni komunikasi yang bersifat memaksa, menekan dan tidak membuat
nyaman bagi siswa. Namun, yang diperlukan adalah komunikasi yang bersahabat,
menyenangkan, tidak membosankan, dan membuat nyaman bagi siswa tanpa
menghilangkan efektifitas dari tujuan pembelajaran itu sendiri.
Adalah sangat
sangat perlu untuk melakukan pembenahan kurikulum lembaga pendidikan tinggi
yang mendidik para calon guru, dengan memasukkan masalah kemampuan
berkomunikasi sebagai bagian dari mata kuliah wajib, yang hingga saat ini
-mungkin - belum tersedia. Adalah lebih penting meningkatkan kemampuan seni
berkomunikasi guru, bila dibandingkan dengan penambahan kewajiban yang bersifat
teknis adminstratif, seperti RPP atau Satpel, yang sebenarnya dapat diambil
alih oleh para profesional lain di bidang kurikulum. Pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa penambahan kewajiban teknis administratif, ternyata tidak
memiliki korelasi langsung terhadap peningkatan mutu pembelajaran seorang guru.
Kompetensi seorang guru, pada hakikatnya terletak pada kemampuannya
menyelenggarakan proses kegiatan pembelajaran yang bermutu, efektif, dan
menarik bagi para siswanya.
Adalah menarik
untuk belajar dari bangsa lain. Para peneliti pendidikan di Amerika Serikat
(AS) menyimpulkan bahwa kekalahan rata-rata hasil belajar siswa AS dibandingkan
dengan siswa di Jepang, khususnya di bidang Matematika dan IPA, bukan
disebabkan oleh tidak adanya perubahan dan perbaikan sistem pendidikan di AS.
Perubahan dan perbaikan pendidikan selalu dilakukan oleh AS setiap tahunnya.
Ada satu hal yang tidak dilakukan oleh AS, namun telah dilakukan oleh Jepang,
yaitu adanya sistem yang menjamin peningkatan mutu pembelajaran yang dapat
berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan. Sistem itu, yang kemudian
juga kini baru diadopsi oleh Indonesia, adalah Jugyokenkyu atau lebih populer
dengan istilah Lesson Study, atau Studi Pembelajaran.
Apa yang terjadi
pada pendidikan di sekolah kita ? Tanpa menafikkan lebih banyak sekolah yang
telah menerapkan proses pembelajaran yang bermutu dan menarik, kiranya dapat
dikatakan sebuah hasil pengamatan sementara, dan mungkin masih bersifat
terbatas. Bahwa Indonesia pun belum memiliki sistem yang menjamin tejadinya
peningkatan mutu pembelajaran secara terus-menerus dan berkelanjutan. Mengapa
hal ini bisa terjadi ? Proses pembelajaran oleh guru, lebih bersifat
individual. Artinya, guru mengajar tidak memiliki kaitan langsung dengan
pengajaran yang dilakukan oleh guru lainnya. Guru, seolah memiliki kebebasan
yang bersifat mutlak tentang bagaimana ia mengajar di kelas, tanpa diketahui
oleh guru lain bagaimana sesungguhnya proses pembelajaran itu terselenggara.
Ini, menyangkut
masalah kontrol atas praktek pembelajaran seorang guru di kelas, dari sebuah
sistem pembelajaran di sekolah secara keseluruhan. Guru, seolah hampir tanpa
kontrol, dan bersifat kebal dari kemungkinan koreksi dari pihak lain. Entah,
guru itu telah mengajar dengan baik dan menarik, atau mengajar dengan seadanya
dan membosankan. Semua itu berjalan begitu saja, dan berkalu untuk seterusnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Karena sistem pengawasan fungsional tidak
berlangsung sebagaimana mestinya, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Sistem kontrol
yang berlangsung selama ini, adalah melalui penilaian dan supervisi dari Kepala
Sekolah dan Pengawas Sekolah. Namun, apa yang terjadi di lapangan ? Proses
penilaian dan supervisi, sekali lagi, jatuh pada hal yang lebih bersifat
teknis-administratif, seperti pembuatan RPP dan sejenisnya. Bukan, pada hal
yang bersifat substansi dari proses pembelajaran, seperti bagaimana mengajar
materi pelajaran yang efektif dan menarik bagi siswa. Mengapa hal ini bisa
terjadi ? Mudah ditebak pula. Ini masalah kemampuan dan mutu SDM, mereka yang
menjabat sebagai Kepala Sekolah atau Pengawas.
Secara ideal,
seorang Kepala Sekolah, atau apalagi pengawas adalah orang yang dipilih, salah
satunya karena alasan mereka memiliki kemampuan yang lebih mengenai bagaimana
menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas yang efektif dan menarik.
Sehingga, dengan demikian, mereka dapat diharapkan tidak saja melakukan
kegiatan monitoring, namun pula mampu memberikan pengarahan dan sekaligus
memberikan contoh mengenai bagaimana mengajar yang efektif dan menarik itu bagi
guru-guru yang lain. Apa yang terjadi saat ini ? Jabatan Kepala Sekolah lebih
terkesan sebagai bagian dari proses penempatan jabatan karir birokrasi di
pemerintahan daerah. Meski kini, Kemendiknas sedang berupaya untuk melakukan
sertifikasi calon Kepala Sekolah. Akan efektifkah ?
Ukuran
kualitatif dan selektif berdasarkan standar yang dituntut dalam dunia
pendidikan menjadi seolah terkalahkan oleh preferensi yang lebih bersifat
birokrasi, seperti soal loyalitas, senioritas, dan hal lain yang lazim
berlangsung di kalangan pejabat birokrasi pemerintahan daerah. Terlebih lagi,
seorang pengawas sekolah, justru dipilih lebih dikarenakan oleh alasan
senioritas “yang tersisa”, dikarenakan jatah jabatan yang tidak memungkinkan lagi
untuk mengakomodasikannya. Fungsi supervisi atas proses pembelajaran, dengan
demikian menjadi lebih bersifat formalistik, sekedar memenuhi keharusan yang
telah digariskan, karena harus ada sesuai dengan ketentuan dan petunjuk dari
pemerintah pusat.
Sistem yang
menjamin terelanggaranya peningkatan mutu pembelajaran secara terus-menerus dan
berkelanjutan, seperti melalui kegiatan Lesson Study perlu terus
disosialisasikan dan didukung penuh oleh pemerintah, terutama terkait dengan
masalah anggaran biaya bagi MGMP yang dianggap cocok sebagai penyelenggara.
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) bagi guru-guru pun
perlu terus dibuka, dan diberlakukan bagi seluruh guru di Indonesia. Prinsipnya
adalah, untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan
menarik, seorang guru perlu terus belajar, baik secara individual maupun
kolektif.
0 komentar:
Posting Komentar